MAKALAH
AGAMA ISLAM
Disusun
Oleh:
Jl. Surya Kencana No. 1 Pamulang
FAKULTAS
EKONOMI
PROGRAM
STUDI AKUNTASI S-1
UNIVERSITAS
PAMULANG
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perjanjian
merupakan salah satu cara yang membantu manusia agar dapat berinteraksi dengan
yang lainnya dengan baik. Dalam perjanjian terdapat suatu kesepakatan antara
kedua belah pihak yang telah mengikat keduanya. Maka dari itu, suatu perjanjian
itu suatu kesepakatan yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai tujuan
bersama. Dan dari sinilah akan timbul rasa kebersamaan antara manusia.
Permasalahan
hukum akan timbul manakala ketika masih dalam proses perundingan sebelum
perjanjian tersebut sah, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum
seperti meminjam uang, membeli tanah padahal belum tercapai kesepakatan final
antara mereka mengenai kontrak bisnis yang dirundingkan[1].
2. Rumusan masalah
1. Apa definisi hukum dan dalil
perjanjian syariah?
2. Bagaimana keabsahan hukum perjanjian
syari’ah dan perbedaan akad &perjanjian ?
3. Apa saja syarat sahnya hukum
perjanjian syari’ah?
4. Apa saja ruang lingkup hukum
perjanjian syariah dan apa pengertian hukum bisnis?
3. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian
hukum perjanjian syariah beserta dalilnya
2. Mahasisiwa mengetahui keabsahan
hukum perjanjian syari’ah serta perbadaannya
3. Mahasiswa mengetahui apa saja
syarat-syarat hukum perjanjian syari’ah
4. Memahami ruang lingkup hukum
perjanjian syariah dan pengertian hukum bisnis
Arti
Defenisi
Syari’ah
Secara
etimologi syariah berarti aturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada
hamba-hamba-Nya, seperti: puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh kebajikan.
Kata syariat berasal dari kata syar’a al-syai’u yang berarti menerangkan atau
menjelaskan sesuatu. Atau berasal dari kata syir’ah dan syariah yang berarti
suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga
orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan alat lain. Syariat dalam
istilah syar’i hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya, baik
hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan
penetapan. Syariat dalam penjelasan Qardhawi adalah hukum-hukum Allah yang
ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah serta dalil-dalil yang
berkaitan dengan keduanya seperti ijma’ dan qiyas. Syariat Islam dalam
istilah adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dari
keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi
yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.
Demikian
juga istilah “hukum Islam” sering diidentikkan dengan kata norma Islam dan
ajaran Islam. Dengan demikian, padanan kata ini dalam bahasa
Arab barangkali adalah kata “al-syari’ah”. Namun, ada juga yang
mengartikan kata hukum Islam dengan norma yang berkaitan dengan tingkah laku,
yang padanannya barangkali adalah “al-fiqh”.
Penjabaran
lebih luas dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa kalau diidentikkan dengan
kata “al-syari’ah”, hukum Islam secara umum dapat diartikan
dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Syari'ah
Dalam Arti Luas
Dalam arti
luas “al-syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma
ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem
kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit (legal-formal) yang
individual dan kolektif.
Dalam arti
ini, al-syariah identik dengan din, yang berarti meliputi
seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir,
hadis, fikih, usul fikih, dan seterusnya. (Akidah, Akhlak dan Fikih).
Ruang
Lingkup Syariah Islam[1]
Dengan
definisi syariat Islam baik secara
etimologis maupun terminologis syar‘î menegaskan ruang lingkup dari syariat
Islam yang sesungguhnya yaitu mencakup keseluruhan ajaran Islam, baik yang
berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlaq dan termasuk di ataranya adalah
muamalah yang mengatur tentang peraturan atau sistem kehidupan manusia. Dengan
demikian secara sederhana diahami bahwa yang dimaksud dengan Syariah Islam
adalah aturan kehidupan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dalam
bentuk hukum-hukum Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunah yang
terdiri atas (1) aspek Aqidah, (2) Aspek Ibadah dan (3) Aspek Muamalah atau
hukum-hukum ‘amaliyah (praktis).
Perkara yang
berkaitan dengan Aspek Aqidah mejadi dasar pokok dalam ajaran Islam. Aqidah
Islam merupakan benuk keimanan kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada
kitab-kitab-Nya; kepada para rasul-Nya; serta pada Hari Akhir dan takdir, yang
baik dan buruknya berasal dari Allah SWT semata[2]. Aqidah
Islam meliputi keimanan pada adanya surga, neraka, dan setan serta seluruh
perkara yang berkaitan dengan semua itu. Demikian juga dengan hal-hal gaib dan
apa saja yang tidak bisa dijangkau oleh indera yang berkaitan dengannya.[3]Aqidah Islam
merupakan pemikiran yang sangat mendasar (fikr asâsi). Aqidah inilah
yang menjadi landasan utama manusia dalam menjalankan perintah dan larangan
Allah swt. Yang berarti bahwa aqidah Islam mencakup pola berpikir menyeluruh (fikrah
kulliyyah) dan mendasar yang mencakup persoalan alam semesta, manusia, dan
kehidupan; eksistensi Pencipta dan Hari Akhir; Hubungan alam, manusia, dan
kehidupan dengan Pencipta dan Hari Akhir.
Perkara yang
berkaitan dengan ibadah terbagi menjadi dua bagian, yaitu ibadah Khas dan
ibadah Umm. Ibadah Khas adalah merupakan ibadah yang tata cara pelaksanaan dan
ketentuan syarat sahnya terdapat petunjuk nash baik dalam al-Qur;an dan Hadits.
Sementara aspek Ibadah Umm atau ibadah umum adalah ibadah yang tata cara
pelaksanaan dan ketentuan atau syarat sahnya tidak terdapat secara rinci dalam
nash. Perkara yang berkaitan dengan ibadah khusus itu seperti iabadah
Sholat, Puasa, Zakat, dan haji sementara perkara yang berkaitan dengan ibadah
umum adalah keseluruhan amaliyah yang menyangkut kehidupan manusiayang mencakup
antara lain
- Ahkamul Akhwal Syakhsiah yaitu
hukum-hukum yang mengatur hubungan rumah tangga, Dalam Al Qur’an terdapat
sekitar 70 ayat yang membahas masalah ini.
- Al Ahkamul Madaniyah yaitu
hukum-hukum yang mengatur transaksi ekonomi sesama anggota masyarakat,
seperti jual beli, pegadaian, sewa menyewa, hutang piutang, syirkah dan
seterusnya. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 70 ayat yang membahas masalah
ini.
- Al Ahkamul Jinaiyah
(hukum-hukum pidana), mengatur segala hal yang berkaitan dengan tindak
pidana kejahatan serta hukumannya. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 30
ayat yang membahas masalah ini.
- Al Ahkamul Dusturiyah (hukum
ketatanegaraan): mengatur mekanisme penyelenggaraan negara berikut
hubungan antara penguasa dan rakyat. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 10
ayat yang membahas masalah ini.
- Ahkamul Murafa’at (hukum
perdata): mengatur hal-hal yang berkaitan dengan dunia peradilan,
kesaksian dan sumpah. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 13 ayat yang
membahas ini.
- Al Ahkamul Iqtishodiyah wal
Maliyah (ekonomi dan moneter) ; mengatur pendapatan dan belanja negara
serta interaksi antara kaum kaya dan miskin sertanegara dan warga negara
dalam masalah ekonomi. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang
membahas masalah ini.
- Al Ahkam Ad Duwaliyah :
mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara lain dan hubungan
negara dengan warga negara kafir dzimmi dalam negara Islam. Dalam Al
Qur’an terdapat sekitar 10 ayat yang membahas masalah ini.
- [Tarikhu Al Tasyri' Al Islami
hal. 84-86, Al Madkhal Ila Dirasati Syari'ah Islamiyah hal. 49-53 dan
156-158, Ilmu Ushulil Fiqhi hal. 32-33 ].
Sementara
itu, peraturan atau sistem kehidupan Islam merupakan kumpulan ketentuan yang
mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak,
makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian[4]. Tentu
saja, untuk bisa disebut sistem Islam, ia harus digali dari dalil-dalil tafshîli (rinci);
baik yang bersumber dari al-Quran, Hadis Nabi, Ijma Sahabat, maupun Qiyas.
Al-Quran,
misalnya, dengan tegas menyatakan:
﴿وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ﴾
Kami telah
menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan
segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).
Hadis Nabi juga
telah menjelaskan hal yang sama:
»قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ «
Aku telah
meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan sesat selamanya
selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah
Nabi-Nya. (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad).
Dari dua
nash di atas, tampak jelas bahwa syariat Islam yang ditinggalkan oleh
Rasulullah saw. telah mengatur segala urusan tanpa kecuali; mulai dari hubungan
manusia dengan Penciptanya—dalam konteks Aqidah dan ibadah semisal shalat,
puasa, zakat, haji dan jihad; hubungan manusia dengan dirinya sendiri seperti
dalam urusan pakaian, makanan dan akhlak; hingga hubungan manusia dengan
sesamanya seperti dalam urusan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan
politik luar negeri, dll. Secara konseptual, semuanya telah diatur
oleh Islam dengan sejelas-jelasnya.
Hukum-hukum
ini dibukukan dan diatur lagi secara detail dalam As Sunah An Nabawiyah yang jumlahnya
sangatlah banyak. Demikianlah, syariah Islam merupakan aturan hidup dan
perundangundangan paling lengkap dan sempurna yang Allah Ta’ala turunkan untuk
umat manusia sampai akhir zaman nanti.
Secara garis
besar peraturan Allah yang diberikan kepada manusia terbagi menjadi dua yaitu
pertama, peraturan yang bertalian dengan perbuatan manusia guna mendekatkan
diri kepada Allah, mengingat ingat ke-Agungan-Nya dan berterimakasih atas
karunia yang diberikan-Nya kepada manusia. Bagian ini sering disebut ibadat,
seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Kedua, peraturan yang bertalian dengan
kegiatan manusia guna menemukan kebaikan bersama dan mengurangi kedzaliman atas
manusia lain pada umumnya. Bagian kedua ini sering disebut mu’amalat, seperti
pernikahan, pembagian harta waris, penggunaan barang atau jasa orang lain, hak
hak dasar mencapai kemaslahatan umum.
Sementara
itu, dalam tataran praktis atau aplikatif, Islam juga memiliki tatacara
tertentu yang digunakan untuk mengaplikasikan hukum-hukumnya, memelihara
akidahnya, dan mengembannya sebagai risalah dakwah. Dengan demikian, yang
pertama bersifat konseptual dan tidak mempunyai pengaruh secara fisik sehingga
disebut sebagai fikrah(konsep) saja, sedangkan yang kedua bersifat
praktis dan aplikatif sehingga disebut dengan tharîqah (metode).
Sebab, yang terakhir ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga bersifat
praktis dan aplikatif karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh
secara fisik, di samping bersifat tetap.
2. syariah
dan fikih
Pengertian Syari'ah
Kata syarî’ah itu asalnya dari kata kerja syara’a. kata ini menurut ar-Razi
dalam bukunya Mukhtâr-us Shihah,bisa berarti nahaja
(menempuh), awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al masâlik
(menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syara’a lahum – yasyra’u – syar’an
artinya adalah sanna (menetapkan). Sedang menurut Al-Jurjani, syarî’ah
bisa juga artnya mazhab dan tharîqah mustaqîmah /jalan yang lurus.Jadi arti kata syarî’ah secara bahasa banyak
artinya. Ungkapan syari’ah Islamiyyah yang kita bicarakan maksudnya bukanlah
semua arti secara bahasa itu.
Kata syarî’ah juga seperti
itu, para ulama akhirnya menggunakan istilah syarîah dengan arti selain
arti bahasanya, lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata syarî’ah, langsung
dipahami dengan artinya secara tradisi itu. Imam al-Qurthubi menyebut bahwa syarî’ah
artinya adalah agama yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya
yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan.Hukum dan
ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air
minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Makanya menurut Ibn-ul
Manzhur syariat itu artinya sama dengan agama.
Pengertian Fiqih
Fiqih menurut bahasa berarti
‘paham’, dan Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan
perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama),
yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al
Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan
ijtihad.
Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut
bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang
ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau
makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang
kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang
terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat,
rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Persamaan Syari'ah dan Fiqih
Syariah dan Fiqih , adalah
dua hal yang mengarahkan kita ke jalan yang benar . Dimana , Syariah bersumber
dari Allah SWT, Al-Qur'an, Nabi Muhammad SAW, dan Hadist. Sedangkan Fiqh
bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh , tetapi tetap merujuk pada Al-Qur'an
dan Hadist .
Perbedaan Syari'ah dan Fiqih
Perbedaan yang perlu diketahui yaitu :
Perbedaan dalam Objek :
Syariah
Objeknya meliputi bukan saja batin manusia akan tetapi juga lahiriah manusia
dengan Tuhannya (ibadah)
Fiqih
Objeknya peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia,
manusia dengan makhluk lain.
Perbedaan dalam Sumber Pokok
Syariah
Sumber Pokoknya ialah berasal dari wahyu ilahi dan atau kesimpulan-kesimpulan
yang diambil dari wahyu.
Fiqih
Berasal dari hasil pemikiran manusia dan kebiasaan-kebiasaan yang
terdapat dalam masyarakat atau hasil ciptaan manusia dalam bentuk peraturan
atau UU
Perbedaan dalam Sanksi
Syariah
Sanksinya adalah pembalasan Tuhan di Yaumul Mahsyar, tapi kadang-kadang tidak
terasa oleh manusia di dunia ada hukuman yang tidak langsung
Fiqih
Semua norma sanksi bersifat sekunder, dengan Menunjuk sebagai Pelaksana alat
pelaksana Negara sebagai pelaksana sanksinya.
PERBEDAAN POKOK
Syariah
- Berasal dari Al-Qur'an dan
As-sunah
- Bersifat fundamental
- Hukumnta bersifat Qath'i (tidak
berubah)
- Hukum Syariatnya hanya Satu
(Universal)
- Langsung dari Allah yang kini
terdapat dalam Al-Qur'an
Fiqih
- Karya Manusia yang bisa Berubah
- Bersifat Fundamental
- Hukumnya dapat berubah
- Banyak berbagai ragam
- Bersal dari Ijtihad para ahli
hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang dirumuskan oleh Mujtahid
3.
arti dan tujuan ibadah
engertian Ibadah dan Tujuan Ibadah
Pengertian ibadah adalah pengabdian kepada Allah SWT secara lahir batin
dengan sarana sebagai kewajiban seorang muslim dengan tujuan untuk melaksanakan
perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya (Amar ma’ruf nahi munkar),
kendatipun hal seperti itu sebagai komitmen seorang muslim terhadap kewajiban
dan larangannya adalah sebagai kunci keselamatan seperti halnya Allah SWT
berfirman dalam Q.S An Nisa’ 103. :
فإذا قضيتم الصّلوة فاذكر والله قياما وفعودا وعلى جنوبكمج
فاذا اطماء فاقيموا الصّلوة انّ الصّلوة كأنت على المؤمنين كتابا موقةتا.
Artinya : “Maka apabila kamu telah menyelesaikan sholat (mu),
ingatlah Allah diwaktu berdiri, diwaktu duduk dan diwaktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah sholat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman”. (Q.S An Nisa’ 103)
Ibadah dalam hukum Islam bukanlah sekedar bentuk kegian fisik
kendatipun demikian itu dalam menjalankan ibadah janganlah hanya ingin dipuji
orang lain. Karena dilihat dari realitas yang dilakukan orang banyak melakukan
ibadah seperti itu.meskipun demikian bearti tujuan tesebut belum tercapai dan
berusaha senantiasa untuk mewujudkan tujuan dari setiap ibadah yang dilakukan.
PENGERTIAN DAN PENTINGNYA
THAHARAH
Thaharah menurut arti bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran atau najis
hissi (yang dapat terlihat) seperti kencing atau lainnya, dan najis ma’nawi
(yang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan maksiat.
Adapun menurut istilah syara’, thahrah ialah bersih dari najis baik najis
haqiqi, yaitu khabats (kotoran) atau najis hukmi, yaitu hadats.242
Khabats ialah sesuatu yang kotor menurut syara*. Adapun hadats ialah sifat
syara’ yang melekat pada anggota tubuh dan ia dapat menghilangkan thaharah
(kesucian).
Imam an-Nawawi mendefinisikan thaharah sebagai kegiatan mengangkat hadats atau
menghilangkan najis atau yang serupa dengan kedua kegiatan itu, dari segi
bentuk atau maknanya.243 Tambahan di akhir definisi yang dibuat oleh ulama
Madzhab Hanafi bertujuan supaya hukum-hukum berikut dapat tercakup, yaitu
tayamum, mandi sunnah, memperbarui wudhu, membasuh yang kedua dan ketiga dalam
hadats dan najis, mengusap telinga, berkumur, dan kesunnahan thaharah, thaharah
wanita mustahadhah, dan orang yang mengidap kencing berterusan.
Definisi yang dibuat oleh ulama Madzhab Maliki dan Hambali244 adalah sama
dengan definisi ulama Madzhab Hanafi. Mereka mengatakan bahwa thaharah adalah
menghilangkan apa yang menghalangi shalat, yaitu hadats atau najis dengan
menggunakan air ataupun menghilangkan hukumnya dengan tanah.
Jenis Thaharah
Dari definisi di atas, maka thaharah dapat dibagai menjadi dua jenis, yaitu
thaharah hadats (menyucikan hadats) dan thaharah khabats (menyucikan kotoran).
Menyucikan hadats adalah khusus pada badan. Adapun menyucikan kotoran adalah
merangkumi badan, pakaian, dan tempat. Me nyucikan hadats terbagi kepada tiga
macam, yaitu hadats besar dengan cara mandi, menyucikan hadats kecil dengan
cara wudhu, dan ketiga adalah bersuci sebagai ganti kedua jenis cara bersuci di
atas, apabila memang tidak dapat dilakukan karena ada udzur, yaitu tayamum.
Menyucikan kotoran (khabats) juga dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu mem
basuh, mengusap, dan memercikkan.
Oleh sebab itu, thaharah mencakup wudhu, mandi, menghilangkan najis, tayamum,
dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya.
Pentingnya Thaharah
Thaharah amat penting dalam Islam baik thaharah haqiqi, yaitu suci pakaian,
badan, dan tempat shalat dari najis; ataupun thaharah hukmi, yaitu suci anggota
wudhu dari hadats, dan suci seluruh anggota zahir dari janabah (junub); sebab
ia menjadi syarat yang tetap bagi sahnya shalat yang dilakukan sebanyak lima
kali dalam sehari. Oleh karena shalat adalah untuk menghadap Allah SWT, maka
menunaikannya dalam keadaan suci adalah untuk mengagungkan kebesaran Allah SWT.
Meskipun hadats dan janabah bukanlah najis yang dapat dilihat, tetapi ia tetap
merupakan najis ma’nawi yang menyebabkan tempat yang terkena olehnya menjadi
kotor. Oleh sebab itu, apabila ia ada, maka ia menyebabkan cacatnya kehormatan
dan juga berlawanan dengan prinsip kebersihan. Untuk menyucikannya, maka perlu
mandi. Jadi, thaharah dapat menyucikan rohani dan jasmani sekaligus.
Rukun
islam
Makna Syahadat
“Muhammad Rasulullah”
Makna syahadat Muhammad Rasulullah adalah
mengetahui dan meyakini bahwa Muhammad utusan Allah kepada
seluruh manusia, dia seorang hamba biasa yang tidak boleh disembah, sekaligus
rasul yang tidak boleh didustakan. Akan tetapi harus ditaati dan diikuti. Siapa
yang menaatinya masuk surga dan siapa yang mendurhakainya masuk neraka. Selain itu
anda juga mengetahui dan meyakini bahwa sumber pengambilan syariat sama saja
apakah mengenai syiar-syiar ibadah ritual yang diperintahkan Allah maupun
aturan hukum dan syariat dalam segala sector maupun mengenai keputusan halal dan haram. Semua itu
tidak boleh kecuali lewat utusan Allah yang bisa menyampaikan syariat-Nya. Oleh
karena itu seorang muslim tidak boleh menerima satu syariatpun yang datang
bukan lewat Rasul SAW. Allah ta’ala berfirman :
“
|
Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah (Al Hasyr:7)
|
”
|
“
|
Maka demi Robbmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuh hati (An
Nisa’:65)
|
”
|
Makna kedua ayat :
- Pada ayat
pertama Allah memerintahkan kaum muslimin supaya menaati Rasul-Nya pada seluruh yang diperintahkannya dan
berhenti dari seluruheMuhammad yang dilarangnya. Karena beliau memerintah
hanyalah berdasarkan dengan perintah Allah dan melarang berdasar
larangan-Nya.
- Pada ayat kedua Allah bersumpah
dengan diri-Nya yang suci bahwa sah iman seseorang kepada Allah dan
Rasul-Nya hingga ia mau berhukum kepada Rasul dalam
perkara yang diperselisihkan antara dia dengan orang lain, kemudian ia
puas keputusannya dan menerima dengan sepenuh hati. Rasul SAW
bersabda :
“
|
Barangsiapa
mengerjakan suatu amal yang tidak ada contohnya dari urusan kami maka ia
tertolak. Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya
|
”
|
Amalan yang
dianggap termasuk agama namun tidak ada contohnya dari Rasul dikenal dengan
istilah bid'ah.
Shalat
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Shalat
Shalat lima waktu sehari semalam yang Allah syariatkan untuk menjadi sarana interaksi
antara Allah dengan seorang muslim dimana ia bermunajat dan berdoa kepada-Nya.
Juga untuk menjadi sarana pencegah bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan
mungkar sehingga ia memperoleh kedamaian jiwa dan badan yang dapat
membahagiakannya di dunia dan akhirat.
Allah
mensyariatkan dalam Shalat, suci badan, pakaian, dan tempat yang digunakan
untuk Shalat. Maka seorang muslim membersihkan diri dengan air suci dari semua
barang najis seperti air kecil dan besar dalam rangka menyucikan badannya dari
najis lahir dan hatinya dari najis batin.
Shalat merupakan
tiang agama. Ia sebagai rukun terpenting Islam setelah dua kalimat syahadat.
Seorang muslim wajib memeliharanya semenjak usia baligh (dewasa) hingga mati.
Ia wajib memerintahkannya kepada keluarga dan anak-anaknya semenjak usia tujuh
tahun dalam rangka membiasakannya. Allah ta’ala berfirman :
"Sesungguhnya Shalat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (An Nisa: 103)
Shalat wajib
bagi seorang muslim dalam kondisi apapun hingga pada kondisi ketakutan dan
sakit. Ia menjalankan Shalatsesuai kemampuannya baik dalam keadaan berdiri,
duduk maupun berbaring hingga sekalipun tidak mampu kecuali sekedar dengan
isyarat mata atau hatinya maka ia
mengkhabarkan bahwa orang yangeboleh
Shalatdengan isyarat. Rasul meninggalkan
Shalatitu bukanlah seorang muslim entah laki atau perempuan. Ia bersabda :
"“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah
Shalat. Siapa yang meninggalkannya berarti telah kafir” Hadits shohih.
Waktu ShalatShubuh dimulai
dari munculnya mentari pagi di Timur dan berakhir saat terbit matahari. Tidak
boleh menunda sampai akhir waktunya. Waktu ShalatDhuhur dimulai
dari condongnya matahari hingga sesuatu sepanjang bayang-bayangnya. Waktu
ShalatAshar dimulai setelah habisnya waktu Shalat Dhuhur hingga matahari menguning dan
tidak boleh menundanya hingga akhir waktu. Akan tetapi ditunaikan selama
matahari masih putih cerah. Waktu Maghrib dimulai
setelah terbenamnya matahari dan berakhir dengan lenyapnya senja merah dan
tidak boleh ditunda hingga akhir waktunya. Sedang waktu ShalatIsya’ dimulai
setelah habisnya waktu maghrib hingga akhir malam dan tidak boleh ditunda
setelah itu.
Seandainya
seorang muslim menunda-nunda sekali salat saja dari ketentuan waktunya hingga
keluar waktunya tanpa alasan yang dibenarkan syariat di luar keinginannya maka
ia telah melakukan dosa besar. Ia harus bertaubat kepada
Allah dan tidak mengulangi lagi.
Puasa
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Puasa
Puasa pada
bulan Ramadan yaitu bulan kesembilan dari bulan hijriyah.
Sifat puasa:
Seorang muslim berniat puasa sebelum waktu shubuh (fajar)
terang. Kemudian menahan dari makan, minum dan jima’ (mendatangi istri) hingga
terbenamnya matahari kemudian berbuka. Ia kerjakan hal itu selama hari bulan
Romadhon. Dengan itu ia menghendaki ridho Allah ta’ala dan beribadah
kepada-Nya.
Dalam puasa
terdapat beberapa manfaat tak terhingga. Di antara yang terpenting :
- Merupakan ibadah kepada Allah
dan menjalankan perintah-Nya. Seorang hamba meninggalkan syahwatnya, makan
dan minumnya demi Allah. Hal itu di antara sarana terbesar mencapai taqwa
kepada Allah ta’ala.
- Adapun manfaat puasa dari sudut
kesehatan, ekonomi, sosial maka amat banyak. Tidak ada yang dapat
mengetahuinya selain mereka yang berpuasa atas dorongan akidah dan iman.
Zakat
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Zakat
Allah telah
memerintahkan setiap muslim yang memilki harta mencapai nisab untuk
mengeluarkan zakat hartanya setiap tahun. Ia berikan kepada yang berhak
menerima dari kalangan fakir serta selain mereka yang zakat boleh diserahkan
kepada mereka sebagaimana telah diterangkan dalam Al Qur’an.
Nishab emas
sebanyak 20 mitsqal. Nishab perak sebanyak 200 dirham atau mata uang kertas
yang senilai itu. Barang-barang dagangan dengan segala macam jika nilainya
telah mencapai nishab wajib pemiliknya mengeluarkan zakatnya manakala telah
berlalu setahun. Nishab biji-bijian dan buah-buahan 300 sha’. Rumah siap jual
dikeluarkan zakat nilainya. Sedang rumah siap sewa saja dikeluarkan zakat
upahnya. Kadar zakat pada emas, perak dan barang-barang dagangan 2,5 %
setiap tahunnya. Pada biji-bijian dan buah-buahan 10 % dari yang diairi
tanpa kesulitan seperti yang diairi dengan air sungai, mata air yang mengalir
atau hujan. Sedang 5 % pada biji-bijian yang diairi dengan susah seperti
yang diairi dengan alat penimba air.
Di antara
manfaat mengeluarkan zakat menghibur jiwa orang-orang fakir dan menutupi
kebutuhan mereka serta menguatkan ikatan cinta antara mereka dan orang kaya
Haji
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Haji
Rukun Islam
kelima adalah haji ke baitullah Mekkah sekali
seumur hidup. Adapun lebihnya maka merupakan sunnah. Dalam ibadah haji terdapat
manfaat tak terhingga :
- Pertama, haji merupakan bentuk
ibadah kepada Allah ta’ala dengan ruh, badan dan harta.
- Kedua, ketika haji kaum
muslimin dari segala penjuru dapat berkumpul dan bertemu di satu tempat.
Mereka mengenakan satu pakaian dan menyembah satu Robb dalam satu waktu.
Tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, kaya maupun miskin,
kulit putih maupun kulit hitam. Semua merupakan makhluk dan hamba Allah.
Sehingga kaum muslimin dapat bertaaruf (saling kenal) dan taawun (saling
tolong menolong). Mereka sama-sama mengingat pada hari Allah membangkitkan
mereka semuanya dan mengumpulkan mereka dalam satu tempat untuk diadakan
hisab (penghitungan amal) sehingga mereka mengadakan persiapan untuk
kehidupan setelah mati dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah ta’ala.
Arti
muamaalah
- Pegertian
Muamalah berasal dari bahasa arab,
dari kata معاملة bentuk masdar dari kata عامل – يعامل- معاملة yang mempunyai arti Saling bertindak, saling berbuat,
saling mengamalkan
Sedangkan
pengertian muamalah secara istilah di bagi menjadi dua, yakni
- Pengertian secara luas
Muamalah
merupakan Aturan-aturan Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan
urusan duniawi dalam pergaulan social
Sedangkan
menurut Ibnu Abidin, arti muamalah secara luas di bagi menjadi 5 konteks
bidang, antara lain
1.
Mu’awadhah Maliyah (hukum kebendaan)
2.
Munakahat (Hukum perkawinan)
3.
Muhasanat (Hukum Acara)
4.
Amanat dan ‘Ariyah (Pinjaman)
5. Tirkah (harta warisan)
- Pengertian secara sempit
Muamalah
merupakan aturan tentang kegiatan ekonomi manusia
Pada
dasarnya, perbedaan dari pengertian muamalah secara luas maupun secara sempit
terletak pada cangkupannya, pengertian luas mencangkup munakahat, politik,
warisan, dan pidana. Sedangkan dalam pengertian sempit cangkupannya hanya
tentang ekonomi.
- Pembagian
Muamalah
Muamalah
dibagi menjadi dua :
a.
Muamalah Al-Maddiyah
Muamalah
jenis ini megkaji tentang Objeknya (bendanya). Sehingga kajiannya Bersifat
kebendaan. Seperti apakah benda itu Halal, haram, syubhat,mengandung manfaat
atau mudharat. Serta Keharusan membeli benda halal misalnya
dimaksudkan Untuk mencari ridha Allah,Bukan profit oriented.
b.
Muamalah Al-Adabiyah
Sedangkan jenis muamalah ini
mengkaji Subjeknya,seperti kajian tentang ijab-qabul, penipuan,kerelaan,
dusta,Sumpah palsu dan persoalan Yang berkaitan dengan Etika bisnis (adabiyah)
dari pelakunya
Pada
prakteknya, pembagian al-muamalah al-maddiyah dan al-muamalah al-adabiyah
tidak dapat dipisahkan, Jadi pembagian ini hanyalah teoritis saja
- Pentingnya
mempelajari Muamalah
Fiqh
Muamalah Ekonomi, menduduki posisi yang penting dalam Islam. Hampir tidak ada
manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum
mempelajarinya wajib ‘ain(fardhu) bagi setiap muslim. Kewajiban itu disebabkan
setiap muslim tidak terlepas dari aktivitas ekonomi. Bahkan sebagian besar waktu
yang dihabiskan seorang manusia adalah untuk kegiatan muamalah, al. mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, bahkan negara.
- Hukum
Muamalah dalam Al-Qur’an
Allah Swt
menjelaskan pokok-pokok muamalah kehartabendaan (muamalah maliyah) yang adil
dalam Al-Quran Adapun prinsip muamalah maliyah tersebut ialah :
a.
Melarang memakan makanan secara bathil (4:29)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَتَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka-sama suka di antara kamu (An-Nisak : 29)
b.
Melaksanakan transaksi bisnis atas dasar ridha (Qs.4:29)
c.
Pencatatan transaksi hutang-piutang (QS.2:282)
يأيها الذين أمنوا اذا تداينتم بدين
الى أجل مسمى فاكتبوه
Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu melaksanakan hutang piutang sampai waktu
tertentu, maka tuliskanlah
d.
Akad tansaksi bisnis disaksikan oleh saksi (2:282)
وأشهدوا اذا تبايعتم و لا يضار كاتب و
لا شهيد
Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual-beli. Dan janganlah penulis dan saksi
saling menyulitkan
e.
Larangan riba (Qs.2:275-279)
الَّذِينَ
يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ
مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275} يَمْحَقُ اللهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
{276} إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ
وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ {277} يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ
وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ
تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
orang-orang
yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175].
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan
Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl.
Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang
sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
f.
Keterkaitan Sektor moneter dengan sektor riil (2:275)
و أحل لله البيع و حرم الربا
Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Jual beli,
mengaitkan sektor riil (barang) dengan sektor moneter
(uang
/harga yang dibayarkan)
- Ruang
lingkup Fiqih muamalah
- Harta dan ’Ukud )akad-akad)
- Buyu’ (tentang jual beli)
- Ar-Rahn (tentang pegadaian)
- Hiwalah (pengalihan hutang)
- Ash-Shulhu (perdamaian bisnis)
- Adh-Dhaman (jaminan, asuransi)
- Syirkah (tentang perkongsian)
- Wakalah (tentang perwakilan)
- Wadi’ah (tentang penitipan)
- ‘Ariyah (tentang peminjaman)
- Ghasab (perampasan harta orang lain dengan
tidak shah)
- Syuf’ah (hak diutamakan dalam syirkah atau
sepadan tanah)
- Mudharabah (syirkah modal dan tenaga)
- Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun)
- Muzara’ah (kerjasama pertanian)
- Kafalah (penjaminan)
- Taflis (jatuh bangkrut)
- Al-Hajru (batasan bertindak)
- Ji’alah (sayembara, pemberian fee)
- Qaradh (pejaman)
|
- Ba’i Murabahah
- Bai’ Salam
- Bai Istishna’
- Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith
- Ba’i Sharf dan Konsep Uang
- ’Urbun (panjar/DP)
- Ijarah (sewa-menyewa)
- Riba
- Sukuk (surat utang)
- Faraidh (warisan)
- Luqthah (barang tercecer)
- Waqaf
- Hibah
- Washiat
- Iqrar (pengakuan)
- Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan
ghanimah)
- ََََََُQism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat)
- Ibrak (pembebasan hutang)
- Muqasah (Discount)
- Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur
- Baitul Mal
|
Sedangkan Ruang lingkup di era
modern diantaranya :
- Perbankan
- Asuransi
- Pasar
Modal
- Obligasi
- Reksadana
- BMT
(Baitul Mal wat Tamwil)
- Koperasi
- Pegadaian
- MLM
Syari’ah
- Fungsi
Uang (Moneter)
- Kebijakan
Fiskal
- Kebijakan
Moneter,dll
- Muamalah dan tantangan
modrernisasi
Perkembangan
sains dan teknologi telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia,
termasuk terhadap kegiatan ekonomi bisnis, seperti tata cara perdagangan
melalui e-commerce, kartu kredit, sms banking, LC, mortgage, leasing, pasar
uang, MLM, instrumen pengendalian moneter, exchage rate, waqf saham, fiducia,
jaminan resi gudang, dsb,Oleh karena perubahan sosial dalam bidang muamalah
terus berkembang cepat, akibat dari globalisasi, maka pengajaran fiqh muamalah
tidak cukup secara a priori bersandar (merujuk) pada kitab-kitab klasik, tetapi
teks-teks fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks,
kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan
ijtihad kreatif dalam koridor syariah dengan memperhatikan hal-hal
berikut :
a.
Berijtihad secara kolektif (ijtihad jama’iy)
b.
Menggunakan ilmu ushul fiqh, qawaidh fiqh, falsafah hukum Islam, dan ilmu
tarikh tasyri’
c.
Maslahah menjadi pedoman dan acuan, karena terdapat kaedah “Di mana ada
kemaslahatan di situ ada syariah.متى وجدت
المصلحة فثم شرع الله“ “
Pembagian
Fiqh Mu’amalah
Pembagian
fiqh muamalah ini berangkat dari pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit yaitu
hukum-hukum yang mengatur tentang transaksi kebendaan mulai dari cara
memperoleh hingga pendistribusiannya bukan fiqh muamalah dalam arti luas yang
membicarakan tentang tata pergaulan manusia secara luas. Berdasarkan persepsi
ini, maka ada pembagian dalam kajian fiqh muamalah.
Menurut Al
Fikri dalam kitabnya “Al Muamalah al-Madiyah wa al-Adabiyah” dalam Hendi
menyatakan, bahwa muamalah di bagi
menjadi dua yaitu:
a.
Al- Mu’amalah al-Madiyah
Yaitu mu’amalah yang mengkaji objek sehingga sebagian ulama berpendapat
bahwa mu’amalah al-Madiyah adalah mu’amalah bersifat kebendaan karena objek
fiqh mu’amalah adalah benda yang halal, haram, dan syubhat untuk
diperjualbelikan, benda-benda yang memadharatkan, benda-benda yang mendatangkan
kemaslahatan bagi manusia, dan beberapa segi lainnya.[1][1]
Al Muamalah al-Madiyah yang dimaksud Al-Fikri adalah aturan-aturan yang
ditinjau dari segi objeknya. Dengan kata lain, al-muamalah al-Madiyah
memberikan panduan kepada manusia tentang benda-benda yang layak atau tidak
untuk dimiliki dan dilakukan tindakan hukum atasnya.[2][2] Oleh karena itu, jual beli benda
bagi muslim bukan sekedar memperoleh untung yang sebesar-besarnya, tetapi
secara vertikalbertujuan untuk memperoleh ridha Allah dan secara horisontal
bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga benda-benda yang
diperjualbelikan akan senantiasa dirujukkan kepada aturan-aturan Allah. Maka,
dari perspektif ini, dalam pandangan
fiqh muamalah tidak semua benda (harta) boleh dimiliki atau dikuasai, meskipun
mungkin benda tersebut memiliki nilai guna bagi manusia[3][3].
b.
Al-Mu’amalah al-Adabiyah
Yaitu mu’amalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang
bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. seperti jujur, hasud, dengki, dendam, dan lain sebagainya
atau dengan kata lain, dari aspek ini fiqh muamalah mengatur tentang
batasan-batasan yang seharusnya dilakukan atau tidak oleh manusia terhadap
benda.[4][4]
Al-Muamalah al-Adabiyah ini berisi
aturan-aturan Allah yang wajib diikuti dilihat dari segi subjeknya. Hal ini,
berkisar pada keridhaan kedua belah pihak, ijab kabul, dusta, menipu, dan yang
lainnya. Dengan demikian, al-muamalah al-adabiyah memberikan panduan bagi
perilaku manusia untuk melakukan tindakan hukum terhadap sebuah benda.[5][5] Maka dari
perspektif ini, dalam pandangan fiqh muamalah semua perilaku manusia harus
memenuhi prasyarat ”etis-normatif” agar perilaku tersebut dipandang layak untuk
dilakukan.
Dalam pengaplikasiannya, kedua hal diatas bukan merupakan entitas yang
berbeda. Akan tetapi saling melekat dan terkait. Seseorang yang sedang
melakukan transaksi dia pasti harus memperhatikan kedua hal diatas (al-muamalah
al-madiyah dan al-muamalah al-madiyah). Dari segi benda, tentu diperhatikan
apakah benda itu layak untuk dimiliki dan begitu juga dari sisi perilaku apakah
sudah berperilaku dengan tepat atau belum. Jadi, pada dasarnya pe,bagian dua
aspek tersebut hanya bersifat teoritis[6][6].
Pembagian muamalah yang lainnya juga dikemukakan oleh Ibn Abidin dalam
Rachmat Syafei menjadi lima bagian yakni:
a. Muawadlah Maliyah (Hukum Kebendaan)
Yaitu aturan-aturan yang mengatur hal-hal yang terkait dengan
kehartabendaan. Aturan tersebut terkait dengan posisi benda, cara
memperolehnya, dan cara mentasarufkannya. Muawadlah maliyah ini, menggariskan
tentang barang halal dan haram disertai dengan cara halal dan haram dalam
memperolehnya.
b. Munakahat (Hukum Perkawinan)
Adalah aturan-aturan yang mengatur tentang hal-hal yang terkait dengan
perkawinan diantaranya adalah nikah, talak, rujuk, li’an, dan hadanah.
Munakahat meniscayakan sebuah pelembagaan bersatunya dua orang yang berlainan
jenis kelamin bukan semata-mata mensyahkan hubungan seksual belaka akan tetapi
juga memberikan panduan terhadap terbentuknya keluarga yang manusiawi dan
beradab. Selain itu, juga munakahat memberikan jalan keluar bagi rumah tangga
yang mengalami perpecahan secara manusiawi dan beradab.
c. Muhasanat (Hukum Acara)
Yaitu hal-hal yang mengatur tentang tata cara beracara didepan pengadilan.
Muhasanat (murafaat) ini memberikan panduan penyelenggaraan persidangan
terhadap sebuah kasus pidana maupun perdata.
d. Amanat dan Ariyah (Pinjaman)
Yaitu aturan-aturan yang berkaitan dengan aktifitas pinjam-meminjam sebuah
benda.
e.
Tirkah (Harta Peninggalan)
Yaitu aturan-aturan yang berkaitan dengan pengurusan harta waris, jenisnya,
pembagian nyadan pihak-pihak yang berhak atasnya.
Pembagian fiqh muamalah menurut Ibn Abidin ini sekiranya mengacu pada
definisi muamalah arti luas sehingga munakahat termasuk dalam bagian fiqh
muamalah padahal, ada disiplin ilmu sendiri yang mengatur munakahat yakni Fiqh
Munakahat. Begitu pula dengan Tirkah (harta peninggalan) ini, juga sudah
menjadi sebuah disiplin ilmu sendiri yakni Fiqh Mawaris.[7][7]
Pembagian fiqh muamalah ini hanya sebagian kecil dari berbagai pendapat
untuk pembagian fiqh muamalah. Hal ini, tidak menutup kemungkinan muncul
pembagian fiqh mumalah yang lainnya karena pembagian fiqh mumalah tidak
bersifat mutlak. Namun, tetap yang menjadi hal penting bahwa secara garis besar
fiqh mumalah membahas dua aspek yakni aspek benda dan aspek ettika dalam
memperoleh benda tersebut.
AB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari
pemaparan atau penjelasan materi diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengertian hukum perjanjian syariah
terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa Arab
perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’[18].
Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak.
Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar
keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
2. Dalil dari perjanjian syaiah yaitu
Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 76 dan hadis nabi yang berbunyi “aku anggota
ketiga dari dua orang yang bersyarikah selama keduanya tetap berlaku jujur.
Apabila salah seorang anggota syirkah itu mengkhianati temannya, maka aku
keluar dari syirkah itu”.
3. Di dalam melakukan suatu perjanjian
harusnya terdapat rukun dan syaratdari suatu akad. Agar perjanjian tersebut
dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah. Syarat merupakan salah satu unsur
yang harus ada dalam berbagai hal, baik peristiwa maupun tindakan.
4. Adapun syarat-syarat yang harus
terpenuhi dalam suatu akad perjanjian syariah agar perjanjian tersebut menjadi
sebuah perjanjian yang sah, diantaranya yaitu:
a. Tidak menyalahi hukum syariah yang
telah disepakati
b. Adanya penyimpangan yang dilakukan
oleh salah satu pihak
c. Harus jelas
5. Ruang lingkup hokum perjanjian
syariah. Dapat disimpulkan bahwa subtansi dari hukum perikatan islam lebih luas
dari materi yang terdapat pada hukum perikatan perdata barat. Hal ini dapat
dilihat dari keterkaitan antara hukum perikatan itu sendiri dengan hukum islam
yang melingkupinya yang tidak semata-mata mengatur hubungan antara manusia
dengan manusia saja, tapi juga hubungan antara dengan sang pencipta (Allah
SWT.) dan dengan alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut merupakan
hubungan vertical dan horizontal.
6. Pengertian hokum bisnis menurut
Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam “De Legibus” menyatakan hukum
adalah akal tertinggi (the highest reason) yang ditanamkan oleh alam
dalam diri manusia untuk menetapkan yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan[19].
Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa hukum sebagai buatan manusia, yakni
segala norma buatan manusia karena kekuasaan atau kesepakatan untuk
merealisasikan hukum kodrat atau hukum wahyu dalam kehidupan manusia.
2. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini bisa
sedikit banyak memberikan wacana kepada para pembaca tentang zakat perdagangan
ini dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Disamping itu, kami juga mengharapakan
kritik dan saran dari pembaca, yang mungkin dalam penjelasan dan pembahasan di
atas masih memiliki banyak kekurangan, guna dijadikan acuan dalam penulisan
atau pembahasan selanjutnya. Demikian akhir kata kami, semoga makalah ini
bermanfaat bagi semua, khususnya bagi pembaca dan penulis. Amin.